“Citra yang dipoles tanpa fondasi, cepat atau lambat akan retak di tangan waktu. – Slamet Sucahyo
Kadir dan Roni adalah dua sahabat yang memulai perjalanan wirausaha di waktu yang sama, empat tahun lalu. Mereka sama-sama belajar, menghadiri kelas bisnis, mengikuti komunitas, dan membangun usaha dari nol. Dari luar, keduanya tampak sejajar. Tapi empat tahun kemudian, arah mereka terlihat sangat berbeda.
Roni berkembang pesat. Cabangnya semakin banyak. Bisnisnya makin sering dibicarakan. Dan yang paling mencolok “Roni berhasil mendapatkan suntikan modal dari beberapa investor”.
Sementara itu, Kadir masih berkutat dengan stabilisasi operasional dan menjaga arus kas harian. Ia tidak iri, tapi tak bisa menahan rasa takjub. Apa sebenarnya yang membuat Roni bisa tumbuh secepat itu?
Baca Juga :
Ketika Order Naik, Masalah Ikut Naik: Kisah Kadir tentang Pertumbuhan yang Tak Terkendali.
Citra yang Memikat, Tapi Membingungkan
Sebagai sahabat, Roni tak pelit berbagi. Ketika ditanya Kadir tentang rahasia keberhasilannya mendapatkan investor, jawabannya sederhana:
“Dir, kamu harus naikkan personal branding-mu. Tampilkan dirimu sebagai orang yang profesional, terukur, dan visioner. Nggak harus beneran, kayak gitu dulu, yang penting tampak seperti itu.”
Kadir diam.
Tidak menjawab, tidak juga membantah. Di kepalanya, muncul tanda tanya besar, Apakah personal branding memang harus mengandung kepalsuan untuk berhasil?
Antara Strategi dan Manipulasi
Tak bisa dimungkiri, personal branding adalah hal penting dalam dunia bisnis modern. Investor, mitra, bahkan calon pelanggan sering kali mengenal seseorang dari tampilannya dulu, baru dalamnya. Tapi apa jadinya jika citra yang dibentuk jauh melampaui kenyataan yang sebenarnya?
Roni memang pandai:
- Menata akun media sosialnya penuh dengan bahasa “eksekutif”.
- Membuat pitch deck yang meyakinkan, meskipun angka di lapangan masih goyah.
- Tampil meyakinkan di hadapan calon investor, meskipun sistem internal bisnis belum stabil.
Kadir mulai memahami: yang dijual Roni bukan hanya bisnisnya, tapi dirinya sebagai “founder ideal versi investor”.
Namun, di sisi lain, ia juga mulai meragukan, Apa yang terjadi jika para investor nanti benar-benar masuk lebih dalam?
Daya Tahan Citra yang Rapuh
Citra bisa memikat, tapi hanya sebentar.
Investor tidak hanya menaruh uang mereka juga mengukur risiko, karakter, dan keberlanjutan bisnis. Dan saat masuk ke tahap due diligence yang serius, semua yang disembunyikan mulai terbuka:
- Laporan keuangan fiktif.
- Tim yang ternyata tidak solid.
- KPI yang dibuat untuk menggembirakan investor, bukan untuk mengarahkan bisnis.
Kadir menyadari satu hal, Personal branding itu penting, tapi tidak boleh lebih tinggi dari pijakan nyatanya. Branding harus bertumpu pada proses, bukan ilusi.
Jalan Sunyi yang Lambat, Tapi Jujur
Kadir tidak ingin membungkus dirinya menjadi tokoh yang bukan dirinya. Ia lebih nyaman dengan pertumbuhan yang pelan tapi nyata. Ia tetap memperbaiki sistem, mendengar pelanggan, melatih tim, meskipun tak banyak yang tahu atau peduli di media sosial.
Kadang, jalan ini memang terasa sepi.
Tapi ia percaya, reputasi yang dibangun lewat konsistensi jauh lebih kuat daripada yang dibangun lewat pencitraan. Karena investor yang tepat, pada akhirnya tidak hanya tertarik pada wajah depan bisnis tapi juga pada keutuhan di baliknya.
Branding Boleh Taktis, Tapi Jangan Tega
Dalam dunia bisnis hari ini, membangun personal branding memang bagian penting dari strategi. Namun, terlalu sering, strategi ini diselewengkan menjadi sekadar panggung palsu untuk memikat perhatian.
Padahal, yang kita butuhkan bukan hanya perhatian tapi kepercayaan. Dan kepercayaan hanya tumbuh dari kejujuran dan ketekunan, bukan ilusi dan penyesuaian diri yang berlebihan.
“Lebih baik lambat dengan pijakan kokoh, daripada cepat dengan fondasi retak yang akan hancur saat diuji waktu.”
Penulis : Slamet Sucahyo
Editor : Moh. Rizqo