“Jam segini biasanya ada update story…”
Begitu kata Soni, sambil membuka WhatsApp-nya. Sudah hampir seminggu tidak ada kabar dari Kadir. Tidak ada video meeting, tidak ada pamer project, tidak ada testimoni klien yang diunggah. Sepi.
Padahal biasanya, cukup buka story WA atau IG, semua orang tahu Kadir sedang apa, di mana, dan dengan siapa. Tapi kali ini berbeda.
Baca Juga :
Jono dan Jebakan Ambisi
Kisah yang Dimulai dari Ambisi Personal Branding
“Jadi gini Dir, kamu harus menunjukkan siapa kamu, apa kesibukanmu, kamu sedang apa dan di mana, sama siapa. Ini penting biar personal branding kamu cepat naik,” ujar Jarwo, senior Kadir di organisasi kampus, yang kini menjadi influencer lokal dengan ribuan pengikut loyal.
Kadir mendengar nasihat itu dan langsung tancap gas. Hampir semua momen kerja dijadikan konten. Meeting dengan tim? Diunggah. Ketemu klien? Disyuting. Sesi produksi? Direkam. Bahkan testimoni supplier atau vendor kadang dimasukkan dalam satu frame, lengkap dengan narasi inspiratif.
Awalnya berhasil.
Nama Kadir mulai dikenal di komunitas bisnis lokal. Ia jadi sering diundang sharing, diajak kolaborasi, dan dinilai sebagai “pengusaha muda yang transparan dan aktif”. Sampai semuanya berbalik arah.
Ketika Story Tanpa Izin Jadi Senjata Makan Tuan
Hari itu, Kadir mengadakan meeting dengan salah satu supplier utama. Pembahasan cukup sensitif terkait soal harga, stok, hingga distribusi. Dalam semangat membangun narasi kesuksesan, Kadir merekam sebagian suasana meeting, lalu mengunggahnya ke story dengan caption motivasional.
Satu jam setelah unggahan itu tayang, telepon masuk. Bukan dari pelanggan, tapi dari tim legal supplier tersebut. Mereka menyampaikan keberatan resmi, Konten yang diunggah mengandung informasi internal dan diambil tanpa izin.
Tak lama, somasi pun dikirim.. Sungguh hal yang diluar perkiraan Kadir. Kenapa jadi begini ya?
Belajar dari Kesalahan. Personal Branding Bukan Ajang Pamer Segalanya.
Apa yang dilakukan Kadir memang diniatkan baik. Ia hanya ingin “mengajak orang belajar dari proses” dan “menunjukkan kerja keras timnya”.
Namun, ia lupa satu hal penting dalam dunia profesional:
Tidak semua hal boleh ditayangkan. Dan tidak semua orang setuju untuk ditampilkan.
Banyak pelaku usaha muda yang terjebak dalam semangat “konten adalah segalanya”, sampai lupa etika dasar bisnis:
- Minta izin sebelum merekam orang lain.
- Jangan menayangkan informasi strategis atau sensitif.
- Hargai ruang privat mitra kerja, klien, dan tim internal.
Ketika “Diam” Lebih Bijak daripada “Update Tiap Saat”
Sejak kejadian itu, Kadir memilih rehat dari hingar-bingar story.
Ia lebih fokus membenahi SOP komunikasi eksternal di bisnisnya, termasuk menyusun form izin tayang dan meninjau ulang konten yang akan dipublikasikan.
Kadir sadar, personal branding bukan tentang seberapa sering muncul, tapi seberapa tepat dan etis kita hadir di ruang publik.
Dan hari ini, ketika Soni membuka WhatsApp dan tak lagi melihat story Kadir, ia tak lagi heran. Karena kadang, diam pun bisa jadi bentuk profesionalisme yang paling kuat.
Jika Anda sedang membangun personal branding untuk bisnis, ingat, Bangun kepercayaan, bukan sekadar perhatian.
Karena di era serba digital ini, story yang salah bisa berakhir jadi cerita hukum yang panjang.
Penulis : Slamet Sucahyo
Editor : Moh. Rizqo