“Ambisi bisa jadi bahan bakar atau racun, tergantung kepada siapa kita mengarahkannya.” — Slamet Sucahyo
Setiap orang punya alasan saat memulai usaha.
Ada yang ingin bebas waktu. Ada yang ingin lepas dari tekanan kantor. Ada juga yang ingin mengejar impian masa muda yang tertunda. Tapi di balik semua itu, tidak sedikit yang sebenarnya didorong oleh satu hal ambisi untuk menunjukkan bahwa ‘saya bisa lebih baik’. Itulah yang dialami Jono.
Warisan Korporasi yang Positif
Jono adalah teman lama Kadir. Pernah lama bekerja di dunia profesional, Jono dikenal sebagai orang yang rapi, ambisius, dan berorientasi pada hasil. Kariernya melesat, dan banyak orang menghormati integritas serta disiplinnya. Tapi seperti banyak profesional mapan lainnya, suatu hari ia memutuskan saatnya membuka usaha sendiri.
Keputusan ini tidak impulsif. Jono menyiapkan tabungan, membuat business plan, bahkan membawa banyak kebiasaan baik dari dunia korporasi ke dalam bisnis kecilnya:
- SOP disusun sejak awal.
- Dashboard monitoring dibuat rutin,
- Tim kecil dilatih dengan struktur kerja yang jelas.
Namun, ada satu hal yang Jono bawa dari dunia lama yang tanpa sadar justru menjadi bom waktu. Dorongan untuk berprestasi lebih cepat dari orang lain.
Baca Juga :
Kadir dan Kesalahan Tafsir Tentang Kolaborasi
Menyaingi Sahabat, Menyingkirkan Arah Sendiri
Seiring waktu, usaha Jono berjalan, tapi belum sepenuhnya stabil. Di sisi lain, ia melihat Kadir sahabatnya tampak bersinar. Kadir sering tampil di forum, gerainya ramai, dan postingannya di media sosial selalu disukai banyak orang.
Alih-alih belajar dengan tenang dari proses sendiri, Jono mulai tergoda untuk membandingkan.
Ia mulai meniru Kadir:
- Gaya visual media sosial,
- Model bisnis yang mirip,
- Bahasa promosi, hingga konten yang tidak sesuai dengan nilai yang ia bawa sendiri.
Bahkan Jono memaksa timnya mengubah haluan hanya demi terlihat “selevel” dengan apa yang dicapai Kadir. Tanpa disadari, ia kehilangan arah bisnisnya sendiri.
Ambisi yang Tidak Dewasa
Masalahnya bukan pada ambisinya. Masalahnya adalah ketidakdewasaan dalam mengelola ambisi itu.
Ambisi yang sehat berangkat dari dalam, dari nilai, dari visi, dan dari panggilan. Tapi ambisi yang tidak matang justru lahir dari rasa ingin menyaingi, ingin mengejar validasi eksternal, dan takut tertinggal dari teman sebaya.
Inilah yang dialami Jono:
- Ia tidak lagi bertanya, “Apa yang cocok untuk pasar saya?”
- Tapi sibuk bertanya, “Apa yang dilakukan Kadir minggu ini?”
Jebakan seperti ini sering kali halus. Kelihatannya seperti kerja keras. Tapi sebenarnya hanyalah kerja yang kehilangan arah.
Menjadi Pengusaha, Bukan Pemeran Tambahan
Bisnis bukan panggung sandiwara. Tapi Jono mulai bermain seperti aktor yang ingin meniru pemeran utama. Ia tidak sadar bahwa yang dibutuhkan pasar bukan “Kadir versi lain”, tapi Jono yang otentik, dengan kekuatan dan pendekatannya sendiri.
Akhirnya, bukan hanya bisnis yang stagnan, tapi juga semangatnya runtuh. Kekecewaan menumpuk. Energi terkuras untuk membuktikan sesuatu yang bahkan tidak pernah diminta oleh siapa pun.
Dan yang paling menyakitkan, Kadir sendiri tidak pernah merasa sedang berkompetisi dengannya.
Tumbuh Itu Proses, Bukan Perlombaan
Kisah Jono bukan kisah yang asing. Banyak pengusaha pemula terjebak pada pola pikir kompetitif yang semu. Mereka terlalu cepat ingin terlihat berhasil, terlalu mudah tergoda membandingkan perjalanan mereka dengan yang lain.
Padahal dalam dunia usaha:
- Tidak ada garis start yang sama.
- Tidak semua orang punya bekal yang serupa.
- Dan yang paling penting: tidak semua orang punya arah tujuan yang sama.
“Ambisi akan membawamu jauh, tapi hanya arah yang benar yang akan membawamu utuh.”
Penulis : Slamet Sucahyo
Editor : Moh. Rizqo