Kadir adalah gambaran sempurna calon pengusaha sukses. Semangat belajarnya tak terbendung. Hampir semua platform belajar ia ikuti: dari ilmu tentang manajemen, operasional, keuangan, branding, sampai fotografi dan kepemimpinan.
Tak berhenti di satu tempat, ia mengikuti kelas yang sama di tiga platform berbeda. Ia mencatat, menganalisis, bahkan membuat mindmap dari materi-materi yang sudah ia pelajari. Semakin banyak ilmu yang dikumpulkan, semakin besar rasa percaya dirinya bahwa ia akan siap memulai bisnis. Suatu hari nanti.
Namun hari itu tak pernah benar-benar datang.
Baca Juga :
Return vs Risiko: Menakar Investasi Usaha Tanpa Terjebak FOMO.
Ilmu yang Bertabrakan, Bukan Mengarahkan
Ketika Kadir merasa sudah cukup siap, ia mulai mencari mentor. Ia konsultasi dengan Coach Heru. Menurut Coach Heru, hal pertama yang harus ia lakukan adalah validasi pasar. Tapi saat mengikuti workshop Coach Bambang, saran yang diberikan berbeda, buat dulu branding dan positioning sebelum masuk pasar.
Merasa ragu, Kadir mencari pendapat ketiga. Coach Tono punya pendekatan lain lagi fokus saja pada MVP dan langsung cari penjualan pertama.
Alih-alih tercerahkan, Kadir malah semakin bingung. Bukannya melangkah, ia malah scrolling katalog kelas baru. Mendaftar pelatihan baru. Mencari mentor keempat.
Ya, mentor keempat.
Paradoks Kadir, Overlearning, Understarting
Kisah Kadir adalah refleksi dari banyak pemula berbakat yang terjebak dalam ilusi kesiapan sempurna. Mereka mengejar ilmu sampai ke sudut terdalam, berharap satu saat semua potongan puzzle akan menyatu dan memberi peta jalan yang jelas.
Namun realitasnya, dunia bisnis bukan ruang kelas. Ilmu yang ideal belum tentu aplikatif dalam konteks nyata. Bahkan dua mentor hebat bisa memberi dua saran berbeda karena masing-masing berasal dari konteks yang berbeda pula. Apakah itu salah, tentu tidak karena mereka sekali lagi memberikan arah dari sudut yang berbeda, sesuai pandangannya.
Semakin banyak sumber belajar, semakin banyak suara yang bersaing dalam kepala. Dan tanpa keberanian untuk memilih dan melangkah, semua itu hanya jadi kebisingan intelektual.
Kapan Cukup itu Cukup?
Tidak salah untuk belajar. Tapi akan keliru jika belajar menjadi alasan untuk menunda. Terlalu banyak orang, seperti Kadir, yang merasa belum siap hanya karena masih ingin mengoleksi lebih banyak sudut pandang. Padahal, satu langkah kecil di dunia nyata bisa lebih menjawab daripada seribu teori.
Yang dibutuhkan bukan selalu tambahan pengetahuan, tapi keberanian untuk berkomitmen pada satu jalan, satu pendekatan, dan satu langkah pertama.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Kadir?
- Belajar boleh banyak, tapi pilih satu pendekatan untuk dieksekusi. Dunia nyata akan mengonfirmasi atau mengoreksi.
- Berhenti mencari validasi dari semua guru. Pilih satu, lalu berani bertumbuh dari hasil praktik.
- Jangan menunggu semua terang. Kadang satu-satunya cara melihat ke depan adalah menyalakan lampu senter langkah demi langkah.
Kadir belum gagal. Ia hanya tertunda oleh paradoks yang diciptakan oleh ekspektasinya sendiri. Ia bukan kurang ilmu justru sebaliknya. Tapi seperti halnya pedang tajam yang tak pernah digunakan, keahlian yang tak disalurkan hanya akan berkarat dalam kebingungan.
Dan kadang, yang paling dibutuhkan bukan jawaban baru, tapi keputusan untuk memulai dengan yang ada.
Penulis : Slamet Sucahyo
Editor : Moh. Rizqo