Banyak orang mengira riset hanya untuk perusahaan besar. Yang punya dana ratusan juta, tim analis, software mahal, dan laporan tebal yang dibahas dalam rapat mingguan. Sementara itu, pelaku usaha kecil penjual makanan rumahan, pemilik barbershop lokal, atau perintis brand skincare baru sering merasa business research bukan urusan mereka.
Tapi justru di situ letak masalahnya.
Karena bukan soal mampu atau tidak mampu, melainkan mau atau tidak mau.
Riset Itu Alat Bertahan Pelaku Usaha Kecil
Korporasi besar punya privilege. Mereka bisa salah beberapa kali dan tetap selamat. Tapi usaha kecil? Sering kali hanya punya satu-dua kali percobaan sebelum kehabisan napas. Itulah kenapa usaha kecil tidak boleh gegabah. Dan riset menjadi alat untuk menekan risiko salah arah.
Riset bukan soal rumit. Bukan soal statistik rumus tinggi.
Riset adalah tindakan sederhana: bertanya sebelum membuat, mendengar sebelum menjual.
Contohnya, seorang penjual kopi lokal mungkin mengira yang dicari pelanggan adalah “kopi yang enak.” Tapi ketika ia bertanya langsung, ternyata banyak orang datang bukan karena kopi, tapi karena suasana tenang dan colokan listrik.
Tanpa riset, insight seperti ini akan terlewat.
Dan saat penjual lain datang membawa fasilitas yang lebih lengkap, bisnis yang tidak peka bisa perlahan ditinggalkan.
Menebak Tanpa Data Adalah Bentuk Keangkuhan
Keyakinan tanpa bukti sering menjerumuskan.
Berapa banyak pemilik bisnis yang memproduksi ribuan stok hanya berdasarkan “feeling”? Berapa banyak orang yang menghabiskan tabungan untuk ide yang belum diuji sama sekali?
Kita terlalu cepat yakin. Terlalu cepat percaya.
Padahal kebutuhan pasar bukan soal perasaan. Ia harus diuji.
Asumsi memang bagian alami dari berpikir. Tapi ketika asumsi dibiarkan menjadi kompas, bisnis kehilangan arah. Dan yang menyedihkan, banyak pelaku usaha jatuh bukan karena idenya buruk, tapi karena tidak mau mendengarkan lebih dulu.
Riset Membongkar Asumsi yang Bisa Membahayakan Arah Bisnis
Riset bukan hanya mencari tahu apa yang orang mau.
Terkadang, riset membuka realitas yang tidak ingin kita dengar.
Seorang founder pernah yakin bahwa fitur utamanya adalah solusi terbaik untuk pengguna. Tapi setelah riset, justru fitur itu dianggap menyulitkan. Bukan keunggulan, malah jadi alasan orang berhenti pakai.
Riset menyakitkan? Kadang, ya.
Tapi lebih baik sakit saat riset daripada rugi setelah produksi.
Riset adalah cara untuk “berdamai dengan kenyataan.” Ia menahan ego. Menarik kita dari ruang imajinasi menuju ruang realitas.
Dan dari situlah keputusan yang lebih bijak bisa diambil.
Riset Tidak Harus Mahal: Sumbernya Ada di Sekitar Kita
Siapa bilang riset harus pakai lembaga survei?
Berikut adalah sumber riset gratis yang bisa digunakan siapa saja:
- Pengamatan langsung: Lihat bagaimana orang berbelanja, memilih produk, atau memutuskan beli.
- Percakapan informal: Tanyakan ke pelanggan yang datang. Apa yang mereka cari? Apa yang mereka rasakan?
- Ulasan online: Baca review kompetitor di marketplace. Pelajari apa yang disukai dan dikeluhkan.
- Komentar di forum/komunitas: Lihat diskusi di Reddit, Kaskus, atau grup Facebook. Di sana sering muncul insight jujur dari pengguna nyata.
Semua ini tersedia gratis. Yang dibutuhkan hanyalah waktu dan kepekaan.
Contoh Kasus: Ketika Riset Sederhana Menyelamatkan Bisnis
Bayangkan seseorang ingin membuka kedai nasi goreng kekinian. Ia sudah siap dengan nama keren, logo menarik, bahkan packaging estetik. Tapi sebelum launching, ia memutuskan ngobrol dengan 10 orang di target pasar.
Apa yang ia temukan?
Mayoritas bilang mereka tidak peduli dengan nama atau desain, selama:
- Rasanya pas di lidah lokal (tidak terlalu fusion)
- Tidak amis dan tidak pelit topping
- Bisa dipesan lewat ojol dengan harga <20 ribu
Dari sana ia mengubah pendekatannya. Fokus ke rasa dan kecepatan layanan.
Nama dan desain tetap diperhatikan, tapi tidak jadi prioritas utama.
Hasilnya? Ia bukan hanya hemat biaya promosi, tapi juga langsung mendapatkan traction dari segmen yang tepat. Semua berawal dari 10 percakapan yang tidak mewah, tapi jujur.
Riset adalah Tindakan Rendah Hati
Kita sering terlalu cepat jalan, terlalu cepat menjual, terlalu cepat menebak.
Padahal bisnis yang tumbuh kuat bukanlah yang paling cepat mulai. Tapi yang paling paham ke mana harus melangkah.
Riset bukan soal pintar.
Ia soal kesediaan untuk jadi bodoh sejenak, demi bisa mengerti lebih dalam.
Jadi sebelum mendesain logo, mencetak banner, atau bikin stok besar, tanyakan ini:
Apakah aku benar-benar paham masalah orang yang akan kubantu?
Kalau belum yakin, kembalilah mendengar.
Karena mendengar bukan kelemahan. Justru itulah kekuatan bisnis kecil yang mau belajar besar.
Penulis : Slamet Sucahyo
Editor : Moh. Rizqo