Investor Mundur Bukan Karena Angka, Tapi Karena Hal yang Tak Terlihat

investor

Kadang bukan strategi yang salah. Tapi caranya memaksakan strategi.

Among yakin ekspansi adalah jalan terbaik. Bisnis mereka sedang ramai, perhatian publik meningkat, dan rasanya sekarang adalah momentum yang tak boleh dilewatkan. Maka ia mengumpulkan semua orang, tim internal, komisaris, bahkan investor.

Di meja bundar itu, Among bersuara paling keras. “Kita butuh tambahan modal untuk buka cabang baru. Sekarang atau tidak sama sekali.”

Tapi Jamal, salah satu komisaris senior, angkat tangan. Ia tidak setuju. Baginya, masalah internal lebih genting. Beberapa unit bisnis sedang retak secara operasional. Sistem belum tertata. SDM belum solid. “Ekspansi dalam kondisi begini hanya akan memperbesar masalah,” ujarnya tenang.

Among tersinggung. Ia menatap investor utama mereka, Bos Amri, dan mencoba meyakinkannya langsung. Sambil tersenyum ia berkata, “Itu hanya gesekan kecil. Biasa di perusahaan yang sedang bertumbuh. Kita ini sedang dalam masa keemasan.”

 

Tapi Bos Amri tak mudah diyakinkan. Maka ia mengirim orang kepercayaannya: Parto.

Parto ditugaskan melihat lebih dekat. Ia bukan auditor, bukan pula konsultan. Tapi pengalaman dan instingnya tajam. Ia duduk di ruang meeting. Ia ikut mendengarkan presentasi. Ia berbincang dengan para manajer unit. Ia diam saat Among memamerkan strategi branding dan “data pertumbuhan.”

Tapi Parto tak hanya menilai dari angka.

Ia mengamati sesuatu yang lebih halus, gaya komunikasi Among yang manipulatif, narasi besar yang tak didukung data lapangan, suasana tim yang terpecah antara loyalitas dan ketakutan.

Setelah seminggu menyelam, Parto membuat catatan yang ringkas untuk Bos Amri:

“Perusahaan ini tumbuh, tapi di dalamnya rapuh. Jika diteruskan, uang kita akan hilang bukan karena pasar, tapi karena ego manajemen.”

 

Bos Amri mundur. Dana ditarik. Ekspansi batal. Tim panik.

Among berusaha membalikkan keadaan. Ia menyalahkan laporan Parto, menyusun ulang presentasi, dan mengadakan “meeting klarifikasi.” Tapi semuanya sudah terlambat. Investor sudah melihat apa yang tidak bisa ditutupi oleh cerita.

Bukan laporan keuangan yang membuat investor mundur.

Bukan pula kompetitor atau penjualan yang stagnan.

Tapi budaya internal yang goyah, kepemimpinan yang keras kepala, dan sikap yang mengabaikan peringatan dari dalam.

 

Dalam dunia nyata, investor tidak hanya membaca angka. Mereka membaca situasi, energi tim, dan karakter pemimpinnya. Mereka tahu, angka bisa dimanipulasi, tapi budaya kerja dan integritas manajemen sulit dipoles.

Yang dianggap “hal sepele” seperti komunikasi yang tertutup, keputusan yang tidak kolaboratif, atau narasi kosong tanpa aksi, justru bisa menjadi alasan utama investor mundur.

Karena sesungguhnya, yang dicari investor bukan pertumbuhan cepat. Tapi pertumbuhan yang kuat.

 

Penulis : Slamet Sucahyo
Editor : Moh Rizqo

Exit mobile version