Kadir membuka bisnis pertamanya dengan semangat menyala. Ia menjual produk herbal yang menurutnya bisa menjawab kebutuhan banyak orang, target pasar mulai dari remaja yang ingin tampil bugar, ibu rumah tangga yang ingin menjaga kesehatan keluarga, hingga pekerja kantoran yang sering kelelahan. “Produk ini cocok untuk semua orang,” pikirnya dengan penuh keyakinan. Maka dari itu, semua strategi pemasaran dibuat umum: desain kemasan yang netral, pesan iklan yang luas, dan bahkan channel promosi yang tersebar ke berbagai arah.
Namun setelah tiga bulan, hasilnya jauh dari harapan. Penjualan tidak bergerak signifikan. Banyak orang melihat iklannya, tetapi sedikit yang membeli. Ulasan pelanggan pun tak konsisten. Ada yang bilang manfaatnya tidak terasa, ada yang bingung dengan klaim produknya, dan banyak pula yang merasa “bukan buat saya”.
Kadir mulai frustasi. Ia merasa produknya bagus, tapi tidak mengerti kenapa tidak laku. Barulah setelah duduk bersama mentor bisnisnya, ia sadar satu hal penting: produk yang ingin menyenangkan semua orang justru tidak menyentuh siapa pun secara mendalam.
Ia belum pernah mendefinisikan siapa pelanggan yang ingin dilayani. Ia belum pernah benar-benar bertanya: untuk siapa produk ini dibuat? Dan dari sanalah titik balik itu dimulai.
Target Pasar. Titik Awal atau Titik Salah?
Apa yang dialami Kadir bukan cerita langka. Banyak pelaku bisnis memulai usaha dengan keinginan untuk menjangkau semua orang, tanpa pernah merumuskan dengan jernih siapa yang benar-benar menjadi inti dari bisnis mereka. Menyasar semua segmen dianggap sebagai cara untuk memperbesar peluang. Namun dalam kenyataannya, pendekatan semacam ini membuat pesan bisnis kehilangan ketajaman dan produk kehilangan daya tarik spesifik.
Kesalahan paling umum dalam menentukan target pasar dimulai dari menganggap bahwa produk yang bagus akan otomatis dicari siapa saja. Tapi kenyataannya, konsumen tidak membeli sesuatu hanya karena itu bagus. Mereka membeli karena merasa dipahami, merasa relevan, dan merasa dibantu secara personal. Dan perasaan ini tidak akan muncul jika produk atau cara menyampaikannya terlalu umum.
Selain itu, banyak bisnis terlalu cepat puas dengan data demografis. Target pasar ditulis sebagai “wanita 25–40 tahun, tinggal di kota besar.” Tapi itu hanya angka. Di balik angka ada cerita, ada kekhawatiran, ada cara berpikir, ada bahasa yang digunakan sehari-hari. Tanpa memahami sisi psikografis seperti nilai hidup, aspirasi, atau cara mereka memutuskan. Semua strategi komunikasi hanya akan menyentuh permukaan.
Tak kalah sering, kesalahan terjadi karena keputusan dibuat berdasarkan asumsi pribadi. “Saya suka produk ini, pasti orang lain juga suka.” Padahal pasar tidak berjalan berdasarkan ego. Pasar berjalan berdasarkan empati. Yang disukai pribadi belum tentu dibutuhkan orang lain.
Beberapa bisnis juga terlalu reaktif. Saat penjualan menurun, target pasar diganti. Saat campaign tidak berhasil, segmen dialihkan. Padahal bisa jadi yang perlu diubah bukan siapa yang dituju, tetapi bagaimana cara menyapanya.
Dan yang sering terlupakan adalah buyer persona hanya disusun di awal, lalu dilupakan. Padahal buyer persona yang efektif adalah yang terus diuji, diperbarui, dan digunakan dalam setiap keputusan strategis.
Mengapa Traveloka Tepat Sejak Awal
Berbeda dengan pengalaman Kadir, Traveloka mengambil jalan yang jauh lebih terfokus. Saat pertama kali berdiri, mereka tidak langsung mencoba menjadi super-app perjalanan. Mereka memilih satu masalah yang sangat spesifik yakni membantu masyarakat Indonesia memesan tiket pesawat domestik secara praktis dan transparan.
Mereka tidak membidik “seluruh masyarakat Indonesia.” Mereka memilih kalangan profesional muda kelas menengah di kota besar yang mulai terbiasa menggunakan internet, tetapi merasa ribet saat memesan tiket. Dari situ, strategi mereka terbentuk. Pesan menjadi jelas. Platform dirancang sesuai kebiasaan segmen tersebut. Hasilnya? Traveloka berhasil menguasai pasar tiket pesawat sebelum memperluas ke layanan lainnya.
Keputusan mereka untuk tidak menyasar semua orang adalah keputusan strategis. Dan itu pula yang membuat mereka tumbuh konsisten.
Dan pada akhirnya…
Tidak semua orang perlu menyukai sebuah produk.
Tidak semua audiens perlu mendengarkan sebuah pesan.
Karena yang paling bernilai bukan seberapa banyak yang melihat,
tetapi seberapa dalam seseorang merasa terhubung.
Dalam sunyi sebuah pasar yang hiruk pikuk,
Hanya bisnis yang bicara dengan kejelasan hati
yang akan terdengar paling jernih.
Penulis : Slamet Sucahyo
Editor : Moh. Rizqo